05 November 2015



Gagal fokus merupakan kata sindiran untuk semua pihak yang gagal dalam mengarahkan biduk perjuangan kearah fungsi dirinya. Lebih parah lagi banyak yang gagal memahami jatidirinya, tentang siapa dia, untuk apa dia dan apa yang harus dilakukan. Kegagalan memahami jatidiri akan berakibat gagal dalam menentukan orientasi diri, gagal dalam menentukan orientasi diri akan membuahkan kegagalan dalam aksi. fenomena semacam ini banyak ditemukan pada diri anak muda hari ini, para generasi yang seharusnya menjadi tumpuan masa depan justru hadir menjadi beban sejarah sebuah peradaban, sebuah generasi yang gagal memahami jatidirinya. generasi semacam ini terbentuk akibat dari kesembronoan para penguasa dalam mengkreasi sebuah tatanan sosial termasuk bidang pendidikan untuk masyarakat, akibat yang ditimbulkan dari kesembronoan ini tidak terurusnya aset-aset negara termasuk aset generasi. kita coba refleksi kondisi mahasiswa dan pergerakannya dalam 1 dekade terkahir ini, pasca reformasi peregerakan mahasiswa mulai melemah dan berubah menajadi tunggangan poltik praktis, hal ini tidak bisa dipungkiri karena sebagian besar aktor-aktor politk mahasiswa pada masa reformasi saat ini telah menjadi penguasa rezim, dan generasi penerus peregerakan mahasiswa berada dibawah kaderisasi mereka, maka adalah sebuah kelaziman jika kita menyakasikan peregakan mahasiswa saat ini telah kehilangan taringnya, sejatinya bukan taringanya yang hilang namun akal pemainnya yang telah didrive oleh para pengauasa yang tidak lain tidak bukan adalah para alumni dan guru-guru pergerakan mereka.

Sebagian besar aktivis pergerakan mahasiswa saat ini adalah orang-orang yang tidak tumbuh secara alami berangkat dari alam kesadaran nurani, namun tumbuh atas pengkaderan ala penguasa tiran. Yang bersemayam dalam akal mereka bukan lagi terlahir dari pencarian dan perenungan namun lebih karena doktrin-doktrin kesibukan yang tak berorientasi. Hal ini adalah wajar mengingat siapa yang mendidik mereka menjadi aktivis, tidak lain tidak bukan adalah para aktivis sebalum mereka yang saat ini menjadi penguasa, sehingga arah pemikiran dan analisis semua tidak ditentukan oleh diri pribadi namun oleh para aktor dibalik sebuah pergerakan, ini bukan ideologi apalagi bahasa mabda' ini hanya sebuah doktrin analisis lemah yang telah lama diajarkan kepada mereka dan mengendap dalam pola fikri hingga mengkristal mejadi pola sikap.

Maka dari itu, jika kita saksikan hari ini kita akan menemukan betapa banyak mahasiswa saat ini yang aktif sebagai aktivis namun hanya vokal dalam berbicara dan berdebat tanpa tawaran konsep perubahan yang jelas, bahkan ironisnya lebih banyak lagi yang ngaku aktivis tapi hanya sibuk menunaikan agenda tahunan yang membosankan tak mendidik apalagi mengubah masyarakat. Kepuasan dalam berorganisasi didapat ketika Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) diterima oleh senior, karier politk kampus dianggap sebuah status sosial yang layak untuk diperebutkan, posisi puncak dalam sebuah entitas organisasi dianggap sebuah puncak karier dan simbol kesuksesan terbesar, meski setaip kali ditanya tentang tawaran perubahan apa yang akan dilakukan, jawabannya ngalor-ngidul susah dipahami dan tak berpijak pada ideologi, ini semua disebabkan karier politik kampus hanya dijadikan pijakan untuk melompat kedunia kerja, dalam kata lain hanya untuk memperpanjang rentetan curriculum vitae saat menjadi job seeker. Menyedihkan memang, dipundak orang semacam ini nasib rakyat akan dibebankan, bahkan masa depan bangsa ini juga ada dipundak mereka, akan jadi apa bangsa ini dipimpin oleh orang-orang lemah seperti ini?

Menengok pergerakan mahasiswa yang menjadi tulang punggung aktivitas keritik mahasiswa juga tak jauh berbeda dengan kondisi umum ditengah-tengah mahasiswa. Berawal dari para aktivis yang telah didik ala didikan penguasa, lalu berlanjut menjadi penggerak gerakan yang dibentuk dan dibesarkan penguasa, lalu atas dasar apa saat mereka melihat penyimpangan penguasa mereka akan berteriak melawan? untuk paham apakah itu penyimpangan atau tidak saja mereka tidak mampu, mengapa bisa seperti itu? jawabannya tidak lain tidak bukan karena didalam otak mereka telah diberikan standar ala penguasa. Baik dan buruk menurut penguasa akan menjadi baik dan buruk menurut mereka, benar dan salah menurut penguasa akan menjadi benar dan salah menurut mereka. Betapapun mereka berteriak tentang independensi, tentang netralitas namun fakta tak dapat dihindari. Diamnya gerakan mahasiswa saat menyaksikan kerusakan penguasa memang terdapat benang merah yang jelas, terutama jika penguasa tersebut adalah alumni pergerakan tersebut, yang dipertaruhkan adalah kehormatan organisasi. Disisi lain ada sebagaian pergerakan yang bergerak saat terdapat kebijakan yang meriugikan rakyat, namun ia tidak bergerak saat ada kasus lain yang sama-sama merugikan rakyat, usut-punya usut mereka bergerak akibat permainan politik untuk menjatuhkan citra lawan politik, siapa dibalik aktor-aktor ini semua ada beberapa kemungkinan, pertama ikatan ketaatan terhadap senior (karean diperintah senior yang telah menjadi penguasa), kedua ada politik uang alias masa bayaran untuk membentuk sebuah opini tertentu atau mengalihkan opini tertentu.

Kondisi yang menjangkiti hampir sebagian besar pergerakan mahasiswa ini membawa efek pada aksi nyata mereka, arah perjuangan hanya dimaknai sebatas instanitas hasil, sebuah gerak yang berefek langsung dianggap aksi nyata sedangkan aktivitas intelektual dianggap basa-basi bahasa diplomasi. Pergerakan mahasiswa tidak lagi menjadi kendaraan edukasi politik pada masyarkat namun hanya sebatas aktivitas sosial yang mengahasilkan efek sementara pada masyarakat tanpa mengubah esensi lebih mendasar pada perubahan fundamental. Aktivitas mengontrol penguasa tidak lagi menjadi identitas yang menonjol pada diri mahasiswa, disamping terdapat masif nya stigmaisasi negatif oleh segenap civitas akademika, mahasiswa demo dianggap kecacatan cara berpikir tentang perubahan, sedangkan mahasiswa yang membagikan baju, membagikan makanan, menanam pohon di pantai, pemenang lomba-lomba ilmiyah dianggap pejuang yang sesungguhnya. Saya katakan bukan sesuatu yang salah aktivitas sosial, bukan sesuatu yang buruk menanam pohon dipantai, bukan sesuatu yang hina menjadi pemenang lomba, bahkan itu merupakan suatu aktivitas yang istimewa, aktivitas yang mulia, namun jika yang diharapkan adalah perubahan masyarakat apalagi negara atau kebangkitan rakyat, ini namanya gagal fokus.

Gagal fokus memiliki makna kegagalan dalam menatap tujuan yang seharusnya dituju, sebagai sebuah gerakan maka tidak ada kata lain selain sebagai penyambung lidah rakyat, agar hati-hati bebal para penguasa mau tunduk pada apa teriakan rakyat. Mengobati penyakit gagal fokusi ini tidak lain tidak bukan kembali senantiasa duduk bersama anatar gerakan untuk berdiskusi dengan kepala dingin dan lapang dada, agar mahasiswa dapat kembali melihat tentang jatidirinya bahwa ia bukan hanya gerakan sosial, juga bukan hanya kaum akademisi namun ia adalah para pahlawan rakyat, ia adalah para penyambung lidah rakyat. Oleh karena itu jangan gerah kawan-kawan jika diundnag berdiskusi bersama, jangan lari kawan jika diajak bertukar pikiran, jangan sungkan kawan mengakui kekuatan ide mitra jika memang begitulah faktanya.