09 February 2015


Kaum muslimin memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memandang perkara bid'ah, ada yang meletakan bidah pada posisi yang sangat keras sehingga hampir segala sesuatu yang baru dianggap bid'ah, ada juga yang terlalu longgar terhadap perkara-perkar baru sehingga tanpa disadari terjatuh pada bit'ah yang sesungguhnya. Sikap yang seharusnya kita ambil dalam menyikapi bid'ah adalah sikap sewajarnya sebagaimana mestinya bid'ah pada posisinya, oleh karena itu adalah wajib bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu pada wilayah mana sesuatu yang baru itu diakatakan bid'ah dan pada wilayah mana dikatakan bukan bid'ah, karena tidak semua yang tidak dilakukan Rasulullah jika kita lakukan saat ini otomatis jatuh pada bid'ah.

Kita harus paham bahwa peritah asy-Syari' itu dibagai menjadi dua jenis:

Jenis pertama, dinyatakan redaksi perintah berikut penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu berupa langkah-langkah praktis untuk menunaikannya. Sebagai contoh perintah sholat, dalam surat Al-Baqarah ayat 43 Allah memerintahkan sholat dengan redaksi umum yaitu "dan dirikanlah sholat" namun Allah tidak membiarkan kita sholat sesuai dengan kehendak kita masing-masing, lalu diturunkan nash-nash tata cara sholat sebagaimana telah kita kenal saat ini mulai dari takbiratul ikhram, baca al-Fatihah, ruku', dan seterusnya.

Jenis kedua, dinyatakan redaksi perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa dijelaskan tata cara menunaikannya, tanpa dijelasakan langkah-langkah praktis untuk menunaikannya.
Misalnya sabda Rasulullah saw:
«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ [أخرجه البخاري]
Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu tertentu (HR Bukhari)
Disini terdapat perintah dalam melakukan jual beli salam "salaf" dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan agar jual beli salam dilakukan pada takaran, timbangan dan jangka waktu tertetntu, namun tidak dijelaskan bagaiman tata cara praktis pelaksanaannya, seperti misal dua orang yang berakad duduk saling berhadpan lalu saling memandang membaca al-Fatihah kemudian berkata dengan redaksi duhai pulan dan sebagainya.

Contoh lain, sabda Rasulullah saw:
 الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ] البخاري ومسلم]
Emas dengan emas adalah riba kecuali tunai (HR Muslim)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ] البخاري ومسم]
Emas dengan emas harus sama, dirham dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)

penyimpangan perkara yang sudah dijelaskan tata cara pelaksanaannya masuk kategori bid'ah, karena dilakukan tidka menurut tata cara yang telah ditetapkan. 

Jadi bid’ah secara bahasa seperti dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’) adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya… Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan contoh sebelumnya.
Dan bid’ah secara istilah demikian pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadis berikut.

 وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ] البخاري ومسلم]


Siapa saja yang melakukan satu perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari dan Muslim)

Begitulah, jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya itu.



Menyalahi perintah syara’ yang tidak memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid jika berupa seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.

untuk contoh yang pertama yaitu tentang jual beli salam "salaf" jika dilakukan tidak sebagimana perintah Allah tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah, namun dikatakan akad yang menyalahi perintah Allah tersebut batil atau fasad.

untuk contoh yang kedua yaitu tetang emas dengan emas harus kontan dan sama jika dilakukan menyalahi peritnah tersebut maka tidak dikatakan perkara tersbut adalah bid'ah melainkan dikatakan melakukan keharaman karena melakukan transaksi riba'.

jadi tidak semua yang haram itu adalah bid'ah dan namun semua yang bid'ah sudah pasti haram.[ef]

baca lebih lengkapnya di