27 January 2015



Kali ini saya akan mengulas secara singkat mengenai film dokumenter berjudul "Dibalik Frekuensi", Nonton film ini terasa sedih menyaksikan frekuensi publik yang sekarang bukan lagi milik publik namun telah berubah dan menjelma menjadi corong propaganda sebagian elite politik. Dari ribuan media yang ada di Indonesia jika di kelompokkan hanya dimiliki oleh 12 orang pengusaha besar.

Dari 12 pengusaha besar tersebut sebagiannya adalah tokoh politik atau ketua partai yang bertarung dalam pilpres maupun pileg, pertarungan antara satu media dengan media yang lain pun kental kepentingan sekali, media A sangat gencar memberitakan hal negatif yang dimiliki media B dan C, begitupun media B gencar memberitakan hal negatif yang dimiliki A dan C, tak ketinggalan C pun gak kalah gencar memberitakan berita negatif A dan B. sembari membritakan berita negatif media lawan politiknya media tersebut mengangkat habis2an pemilik media tersebut.

dulu banyak orang berkata kita bebas memilih, tapi ternyata sekarang kita tidak bebas memilih, kita hanya disuguhi berita2 yang sarat opini dan pemutar balikan fakta, bapak A nampak baik di media 1 namun bapak A nampak tercela dan berdosa besar jika kita tonton dari media 2, inilah yang terus terjadi di negeri ini. ketika tangan2 serakah kepitalis telah menghabisi kebebasan rakyat hingga ke ruang keluarga mereka, negarapun abai akan hal ini, lebih memilih diam dan seakan menjadi rahasia umum yang tak menarik untuk diungkap. telah nyata jelas kepada kita demokrasi ternyata tidak mempu memberikan kebebasan rakyatnya, janji-jani manis demokrasi adalah keabstrakan yang tak mampu dijamah oleh demokrasi itu sendiri. justru demokrasi hanya mnjadi panggung penguasa dan pengusaha untuk mementaskan segala pertandingan yang mau tidak mau ditonton oleh rakyat.

Seharusnya frekuensi yang hari ini telah memasuki ruang paling pribadi masyarakat tidak digunakan dengan semena-mena oleh para konglomrasi, namun diatur oleh negara secara bijak. Frekuensi hendaknya menjadi wahana penyampai berita bukan wahana penyampai opini, hendaknya frekuensi sebagai media edukasi bukan media doktrinasi. Negara harus turut andil dalam pengelolaannya dan harus netral dari berbagai kepentingan politik.

[ef]